Kontroversi Bendungan Temef di Penghujung Pekerjaan

halaman8.com-SoE – TTS

Picsart 23 12 30 19 22 07 412

Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan mendekati penyelesaian konstruksinya, namun bukan prestasi yang menjadi sorotan. Protes masyarakat memuncak karena klaim bahwa hak-hak ganti rugi lahan belum ditangani dengan adil oleh pemerintah, menimbulkan gelombang kekecewaan di tengah-tengah warga.

Sebagaimana dijelaskan Edi Fina,warga Desa Konbaki, Kecamatan Polen, Kabupaten TTS, saat dijumpai para awak media di lokasi Bendungan Temef bersama sejumlah masyarakat pada Senin, 15 Januari 2024 membongkar bahwa pemerintah tiba-tiba menyematkan label tanah sebagai kehutanan, padahal sejarah dan kuburan leluhur membuktikan kepemilikan masyarakat selama 7 generasi sejak zaman penjajahan Belanda.

Peliknya, pada tahap awal pembangunan Bendungan Temef pada tahun 2017, pemerintah mengakui tanah tersebut bukan kawasan kehutanan, melainkan milik masyarakat. Empat tahap pembayaran ganti rugi telah berlangsung hingga 2021, namun tahap kelima menjadi sorotan karena pemerintah mendadak menggugat tanah sebagai hak milik pemerintah atau kawasan hutan.

Warga setempat bersikeras menunda pembersihan dan pengisian air bendungan, mengecam kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan. Ketidakpuasan meluap terkait rencana pembayaran tahap kelima yang diduga sebagai kompensasi, tidak sesuai Undang-undang nomor 12 tahun 2012.

“Kami minta pemerintah bisa menyikapi pengeluhan masyarakat sehingga bisa diselesaikan dengan baik.karena jujur kami tidak akan mau untuk dibayar dengan kompensasi ,karena kalau dari awal kesepakatan untuk bayar secara kompensasi maka kami pasti tidak mau dari awal juga”,Urainya.

Yunus Kese, yang juga merupakan anak asli desa Konbaki ikut menyoroti perbedaan dalam pembayaran ganti rugi, menyatakan kekecewaannya karena awalnya pemerintah mengakui tanah tersebut sebagai milik masyarakat.

Meski pembayaran tahap awal berlangsung lancar, Yunus mempertanyakan perbedaan signifikan pada tahap pembayaran kelima. Pemerintah mengklaim bahwa tanah tersebut termasuk dalam kawasan kehutanan, yang bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya. “Kami meminta pemerintah merespons keluhan masyarakat dan menyelesaikannya dengan baik. Kami tidak akan menerima kompensasi, karena kesepakatan awal tidak mengarah ke arah itu,” ungkap Yunus.

Yunus juga menyoroti isu pembayaran kompensasi untuk kuburan, yang menurutnya belum ada kejelasan. Awalnya, satu kuburan seharusnya digantikan dengan uang sejumlah delapan juta enam ratus lima puluh ribu rupiah, namun informasi terbaru menyebutkan hanya lima juta tujuh ratus ribu rupiah.

Egidion Tefnai, tokoh adat dan kepala dusun 3 Desa Konbaki, Kecamatan Polen, Kabupaten TTS, membenarkan bahwa tanah tersebut sesuai kesepakatan awal adalah milik masyarakat, bukan kawasan kehutanan. Masyarakat menuntut pemerintah untuk mengklarifikasi dan menyelesaikan permasalahan ini sesuai dengan keadilan.

 

.

kunjungi tik tok media halaman8

Komentar